Seringkali saya berhadapan dengan para mahasiswa cerdas dan kritis. Biasanya kalau selesai mengunjungi salah satu kantor saya yang dulu maka dalam acara santai selalu ada ruang tanya jawab. "Mengapa masih menggunakan tenaga asing, apa bangsa dewek masih kurang pandai?."
Daripada mencari jawab mbulet alias melingkar macam anjing menggigit buntut sendiri, saya mengambil contoh henfon (ponsel). Pertama benda ini dekat dengan hidup manusia Indonesia. Komputer boleh butut atau tidak punya komputer bukan masalah asalkan henfon harus paling mutakhir. Padahal harga henfon bagus bisa seharga laptop baru.
Ketika kita baru dalam tahap gaptek sampai bangganya bisa menggunakan tuts alat komunikasi tersebut untuk mengirim pesan pendek, membuat video. Maka bangsa lain sudah siap dengan dagangan yang dipasarkan. Kalau sudah begini posisi tawarnya, apa mungkin kita mau naik rangking menjadi pencipta henfon.
Lalu saya memeragakan tangan sejajar mulut (posisi kita belajar mencet tuts), dan orang asing sana dengan meninggikan tangan di atas kepala. Jujur saja, kapan mau menyusulnya kalau kita selama ini hanya mengunyah buku karangan mereka dan menjadi sales marketing produksinya. Sekarang dibalik saja, tenaga Indonesia yang bekerja di luar negeri biar revans alias impas.
Kalau bicara soal tenaga kerja asing, terutama yang bekerja di bidang perminyakan Indonesia , perasaan saya menjadi melankolis, sentimental. Ujung-ujungnya tulisan menjadi nylekuthis van "matre"(kasihan deh Akiyu). Ditulis pakai "iy".
Betapa permainya para pekerja asing di Indonesia. Tidak terperikan. Mendapat perlindungan satpam selama 24 jam, rumah di kawasan elit seperti Menteng - Jakarta dengan AC guede sampai di ruang tamu, kendaraan dan pengemudi, pembantu yang selalu siap sedia. Ada blumbang (kolam) berair jernih. Dan tentunya liburan gratis ke manca negara.
Namun masa berganti ketika datang masalah saat perusahaan mulai keteteran memasuki awan gelap tebal "komulusnimbus" berupa masuknya pesaing baru yang lebih agresif seraya menawarkan harga menukik rendah tapi selamat (maunya).
Lantas muncul opsi mengatasi mendung finansial dengan mengadakan pemangkasan pekerja asing yang saat itu banyak dipekerjakan di perusahaan. Dengan kepergian mereka, diperlukan pengganti anak bangsa. Maka meluncurlah crash program sebab pengamatanku, orang Indo harus disurung-surung (dorong) dari lambung pesawat ragu-ragu sebelum berani mengembangkan payungnya. Hasilnya teman-teman menjadi pede menduduki kursinya. Terjadi penghematan yang significant kata orang keuangan.
Dasar kege'eran saya minta kecipratan hasil kerja. "Merasa sudah berbuat lebih dari permintaan pada perusahaan", merasa selama ini jadi cowboy tapi kalau ketemu musuh cuma modal plintheng atau katapel. Filosofinya, kalau soal meningkatkan kesejahteraan kita harus "fight"macam mbak Dita dari PRD. Rejeki bukan datang bak durian runtuh. Waktu itu saya minta inventaris kuda besi.
Hasilnya, bukan cipratan rizki, melainkan semprotan kegeraman dari para pimpinan. Saya malahan di jothak (tidak tegur sapa) oleh pimpinan jauh sebelum musimnya Ibu Megawati menjothak (memusuhi) SBY atau Soekarno menjothak Bung Hatta. Berhubung masih kinyas kinyis (baru nian) bekerja, sempat juga stres dan sakit tipus sehingga dirawat di rumah sakit untuk pertama kalinya.
Akhirnya dengan terpaksa saya mengundurkan diri sebab tahu tidak akan ada pesangon sampai kapanpun. Padahal semula dalam hati sudah kewetu terucap janji untuk bekerja sampai pensiun. Tapi gara-gara dijothak dan diberi tekanan-tekanan lainnya, saya mokong (membangkang) membelot menclok (hinggap, pindah) ke perusahaan lain pada 1997 yang langsung memberi mobil, laptop dan henfon.
Di perusahaan yang baru, masih seabrek mempekerjakan bule, saya cuma celegukan (menelan ludah) jadi pembaca fax penawaran sewa apartemen di Kemang yang aduhai, rincian biaya puluhan juta untuk bermain golf tiap minggu di luar kota dan biaya hotel serta akomodasinya, sewa mobil dan supir serta sebreg fasilitas aduhai khusus pekerja asing.
Entertemen di Bar dan Kafe yang berjuta-juta rupiah setiap malamnya. Tetapi jangan tanya soal kenaikan gaji pegawai, alasannya berbelit sampai-sampai ada yang sudah tiga tahun tidak pernah mendapat kenaikan upah walau satu benggol-pun.
Di sebuah pulau yang masih milik Indonesia, crew asing kami yang berani angkat bendera inspektur Takur lantas mengulur pita merah ala "Police Line" menolak kedatangan pekerja anak negeri dalam tim mereka. Alasannya permintaan pelanggan yang hanya ingin dilayani anak buah Sanjay, Thakur dan Rajiv. Herannya pelanggan kita juga lebih memilih diam. Bahkan usaha mengambil sebanyaknya sarjana dalam negeri selalu mendapat tantangan. Kartu As yang disorongkan adalah lulusan kita "Inggrisnya masih belepotan." Akhirnya orang Bolywood yang memang dari sononya sudah cas-cis-cus akhirnya membanjiri perusahaan kami.
Lantas apa peranan Departemen Tenaga Kerja? Seringkali kami ditegur, namun masih dalam tahap "setengah hati."
Sementara itu para manajer asing tetap agresif menyerang saya dengan mengatakan "terlalu mahal" untuk ukuran Indonesia apalagi kadang sering membangkang.
Sekali tempo perusahaan mengakusisi perusahaan lain. Sebuah kebanggaan pekerjanya. Lalu berita tersebut saya masukkan ke dalam website perusahaan. Lagi-lagi aku teguran keras. Lancang, padahal berita mengakuisisi perusahaan lain, kesannya super duper gitu, kok mau disimpan-simpan beritanya padahal sudah menjadi menjadi konsumsi publik perminyakan. Rupanya demokrasi yang diagungkan Barat hanya berlaku bagi orang lain. Kalau terkena diri sendiri cerita bisa berbalik 180 derajat.
Kesempatan membalas datang saat seorang Wakil Presiden perusahaan dipindahkan ke negara lain. Lalu seperti biasa diadakan pesta antara orang kantor di sebuah kafe Jakarta Selatan. Saya memilih pura-pura kerja lembur di kantor dan menolak hadir padahal jauh-jauh dia datang dari negeri OdeKolonye. Bule lainnya sudah bisik-bisik, "You are in deep shit" - ini bahasa kuli rig untuk "masalah besar."