Wednesday, June 15, 2011

When i touched the economic limit

Syubidubidu syalalala...

Nulis lagi ga ada kerjaan, mau belajar tapi males, benar2 penyakit utama para anak muda jaman reformasi kayak gini itu ya males. Gimana mau jadi negara maju, dikit dikit males. Inilah gambaran kecil dari besarnya bangsa Indonesia. Besar karena gajelas mahasiswanya, isinya cuma twitting, singing, facebooking, ngising..hahaha..

Judulnya agak gak oke, tapi lumayan eye catching, "When i touched the economic limit". Kalo secara harafiah, pasti semua ngerti maksudnya. Economic limit itu kan ya batas ekonomiss, kalo di dunia Eksplorasi dan produksi minyak bumi, economic limit berarti batas ekonomis diproduksikan minyak bumi, mendekati suspend, dan nantinya kalo memang benar benar tidak ekonomis, akan dapat dikategorikan sebagai abandon atau ditinggalkan.

Lapangan Migas di Indonesia termasuk lapangan tua, hampir berumur setara dengan Kakek saya yang sudah meninggal, bahkan lapangan yang dimiliki oleh perusahaan pelat merah di Indonesia, sumur sumurnya di eksplorasi sejak tahun 1938, bayangin data itu muncul dari tahun 1938, mulai di bor kira-kira 7 tahun sebelum Indonesia merdeka. Ajegileeeeeee...

Jujur, dulu gw bukan orang yang terlalu peduli ama yang namane data, tapi gara2 sempet kena tugas splitting data di kantor, gw jadi mikir, betapa mahal dan berharganya data ini, penuh perjuangan abis2an bisa mertahanin data yang berusia hampir 80 tahunan, walau pun ada beberapa data rekonstruksi, tapi tetep oke juga.

Naah, bayangin dari tahun 1938, sampe detik ini, kalo diitung secara matematis, itu udah berumur 73 tahun. Dan lapangan tersebut masih berproduksi sampai detik ini. kalau ditarik decline, dan dianalisa pasti semua hasile hampir sama, dan dapat ditarik kesimpulan, sumur itu tidak akan bertambah Recovery factornya walau dicoba infill drilling ataupun workover.

Salah satu cara yang bisa dipakai untuk mengubah decline dan menaikkan produksi dari economic limit adalah dengan mengganti metode produksi, misalnya Secondary recovery dengan waterflood, atau tertiary recovery dengan EOR. Masalahnya ekonomis ga lapangan tersebut diubah metode produksinya dengan secondary atau bahkan tertiary recovery?

That's the big question that must be answered by the all reservoir engineers in Indonesia.

"This is Enhance Oil Recovery era" itulah yang disampaikan bapak Rinaldi Imran, Manager EOR dari Samudra Energy. Sudah saatnya kita memasuki era secondary dan tertiary Recovery.

Perusahaan pelat merah sudah memulainya, dan hasilnya? sangat memuaskan, walau masih menggunakan secondary recovery dengan waterflood, mereka berhasil menaikkan produksi minyak bumi di Indonesia dengan drastis. PHE ONWJ (22.000 vs 32.000 bopd), Tarakan Kaltim (4.300 vs 5.400 bopd ), dan Limau Sumsel (6.000 vs 12.000 bopd.
Itulah hasil nyata, tapi kembali lagi, semua harus didasarkan pada faktor keekonomian, ekonomis tidak bila kita melakukan semua itu.

Sehebat apapun reservoir engineer, bisa menaikkan ratusan barel minyak, kalau gak ekonomis, mau gimana? :p mati aje lu..

gambaran waterflood tuh kayak gini,yang pada mau belajar nih waterflood, saya punya kenalan ahli waterflood, sahabat ane, orang duri, dy belum lulus tapi udah selevel S3 kalo waterflood. clue nya orange item, tinggi..hahahaha..tapi yakiin, tokceer ilmunyaa. Just contact me ;) tak sambungin ke orange.
terus apa korelasinya? ama judul malam ini?

4 bulan lalu kayake, gw ngalamin decline yang bener2 ekstrem, kalo boleh dikata, bener2 kena decline rate minimum, dengan B=0. Artinya, EKSPONENSIAL!!!!

Benar2 melewati batas economic limit, mau dicoba nglakuin re-opening, ternyata dapete mengecewakan, aiiiir yang didapaaaaat T.T udah kena zona aquifer.

Dicoba waterflood, ternyata ga ekonomis, yaah, emang ga jodoh kali buat ngembangin tuh lapangan ampe beranak pinak keuntungannya. Hahahaha..

Like i said before, mau sehebat apapun mainan simulasi buat ngembangin tuh lapangan, kalo gak ekonomis, ya bakalan habiiissssssss...useless..

terus kalo gitu salah sapa? salah guweee? salaaah temen temeen guweee??? Wakakakakaka...