Wednesday, December 1, 2010

Produksi Minyak Turun Akibat Insiden Chevron



Ada penurunan produksi lifting minyak akibat insiden kebocoran pipa PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) di Kabupaten Rokan Hilir, Riau.

"Saya sudah mendapatkan laporan lifting dalam rapat, tidak tercapainya target itu, disebabkan pecahnya pipa gas yang menuju Chevron itu, akibatnya terjadi penurunan produksi yang cukup besar," ujarnya Hatta saat ditemui di Kantor Menko Perekonomian, Jakarta, Rabu.

Ia menjelaskan produksi sempat menurun signifikan akibat kejadian tersebut, apalagi dari perusahaan asal AS itu menyumbang hampir 50 persen dari target produksi lifting minyak nasional sebesar 965 ribu barel per hari.

"Produksi kita drop cukup signifikan belasan ribu kalau tidak salah 150 ribu barel kumulatifnya selama beberapa hari, itu per hari. Kalau kita bagi per hari maka cukup besar dan itulah akibatnya kemungkinan tidak akan tercapai," ujar Hatta.

Menurut dia, saat ini rata-rata produksi minyak hanya mencapai 950,5 ribu barel per hari dan akibat kebocoran pipa sempat mengurangi target produksi sebesar 160 ribu per barel selama dua minggu.

"Itu kehilangan 160 ribu barel per hari selama sekitar dua minggu (15 hari), kali kan 15 dibagi 365 hari, rata-rata ditemukan hampir 6.600 barel per hari kebocorannya," ujar Hatta.

Ia mengatakan selama ini target lifting minyak terkait dengan penerimaan dan walaupun ada indikasi lifting minyak menurun dari target sebesar 965 ribu per barel, ada kemungkinan target penerimaan negara bisa tercapai karena harga ICP yang masih dalam asumsi pemerintah.

"Kadang-kadang lifting menurun tapi target penerimaan negara tercapai, karena harganya cukup baik penerimaan negara itu kan kita akumulasi dari minyak dan gas," ujarnya.

Hatta menambahkan, pemerintah juga berupaya untuk meningkatkan optimalisasi lifting minyak pada 2011 dengan menimbang kembali penggunaan asas cabotage atau kewajiban penggunaan kapal berbendera Indonesia, terutama bagi pengeboran kilang minyak di lepas pantai perairan.

"Persoalannya menjadi muncul ketika `driling rig` untuk laut dalam, dikategorikan sebagai kapal padahal Indonesia tidak memiliki peralatan pengeboran untuk laut dalam itu. Kalau mau pengecualian dikunci sama UU, (padahal) UU mengatakan pokoknya semua sudah harus menggunakan berbendera Indonesia tidak ada pengecualian," ujarnya.

Menurut dia, untuk mencapai target lifting minyak 970 ribu barel per hari pada 2011, maka perlu dicari jalan tengah untuk mengatasi permasalahan ini, seperti melakukan dialog dengan DPR dan melakukan revisi UU Perhubungan Laut.

"Inilah yang mengakibatkan beberapa investor kita merasa bagaimana ini, sedangkan `rig`-nya tidak ada di Indonesia. Inilah yang saya bahas tadi pagi harus ada jalan keluarnya. Solusi jalan tengahnya sedang dibicarakan dengan DPR bagaimana kita mencari solusi terhadap ini. Salah satunya revisi," ujarnya.

Ia mengatakan dengan revisi tersebut diharapkan eksplorasi pengeboran minyak tidak terganggu dan dapat meningkatkan produktivitas.

"Asas `cabotage` itu bagus harus didukung tapi kalau sampai barang itu tidak ada, juga tidak boleh menggunakan asing, itu bisa mengakibatkan eksplorasi kita terganggu," ujarnya. (*)